Resume Pedagogika " Tujuan, Batas, dan Kemungkinan Pendidikan"


Assalamualaikum .
Berikut saya bagikan materi mata kuliah Pedagogika Semester 3 S1 PGSD, resume ini bisa kawan2 sekalian jadikan referensi dari pembuatan tugas kawan2. Semoga bermanfaat.



RESUME PEDAGOGIKA
“TUJUAN, BATAS DAN KEMUNGKINAN PENDIDIKAN”




Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pedagogika
Dosen Pengampu: Iis Aprinawati, M.Pd





                                    


Disusun Oleh :
RABIATUL WAHYUNI     1686206056





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
2017

TUJUAN, BATAS DAN KEMUNGKINAN PENDIDIKAN

A.  Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa dengan cara membimbing secara optimal kepada peserta didik dengan tujuan kedewasaan. Secara sederhana, Pengertian pendidikan adalah proses pembelajaran bagi peserta didik untuk dapat mengerti, paham, dan membuat manusia lebih kritis dalam berpikir.
Secara Etimologi atau asal-usul, kata pendidikan dalam bahasa inggris disebut dengan education, dalam bahasa latin pendidikan disebut dengan educatum yang tersusun dari dua kata yaitu E dan Duco dimana kata E berarti sebuah perkembangan dari dalam ke luar atau dari sedikit banyak, sedangkan Duco berarti perkembangan atau sedang berkembang. Jadi, Secara Etimologi pengertian pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu.  Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Berikut beberapa pendapat ahli mengenai pengertian pendidikan.
a.      Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia): Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pengertian pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
b.      Ahmad D. Marimba: Pengertian pendidikan menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau bimbingan secara sadar oleh pendidik terdapat perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama.
c.       Menurut UU No. 20 Tahun 2003: Pengertian pendidikan berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar pesertadidik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.  

Pendidikan dapat diperoleh baik secara formal dan non formal. Pendidikan secara formal diperoleh dengan mengikuti program-program yang telah direncanakan, terstruktur oleh suatu insititusi, departemen atau kementtrian suatu negara. Sedangkan pendidikan non formal adalah pengetahuan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari dari berbagai pengalaman baik yang dialami atau dipelajari dari orang lain.

B.  Tujuan Pendidikan
Tujuan merupakan faktor utama yang hendak dituju. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan itu adalah “kedewasaan”. Seseorang dikatakan telah mencapai “kedewasaan” apabila ia telah mampu bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan kaidah agama serta norma yang berlaku di masyarakat. Tujuan pendidikan dalam arti sempit adalah bimbingan yang diberikan orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Maknanya, tujuan pendidikan adalah rumusan tentang apa yang harus dicapai oleh anak didik, dan tujuan ini merupakan arah bagi seluruh kegiatan pendidikan. Sedangkan tujuan pendidikan dalam arti luas adalah usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya sepanjang hayat.

Berdasarkan ruang lingkup (luas dan sempitnya) tujuan yang ingin dicapai, Langeveld mengemukakan bahwa jenis-jenis tujuan pendidikan adalah:
1.    Tujuan Umum
Tujuan umum adalah tujuan akhir yang akan dicapai oleh seseorang melalui pendidikan. Dengan demikian, apabila tujuan pendidikan adalah kedewasaan, maka semua kegiatan pendidikan harus tertuju pada kedewasaan agar tujuan umum pendidikan itu dapat tercapai. Menurut Kohnstamm dan Gunning, tujuan akhir pendidikan adalah membentuk insan kamil atau manusia sempurna.(Amir Daien,1973). sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan umum/akhir pendidikan ialah membentuk insan kamil yang dewasa jasmani dan rohaninya baik secara moral, intelektual, sosial, estesis, dan agama.
Contoh: Seorang guru meminta siswa kelas 1 untuk merapikan crayon dan meja lipat setelah mewarnai, secara tidak langsung anak telah diajarkan tentang tanggungm jawab. Sikap bertanggung jawab ini akan membentuk sebuah kedewasaan dalam diri anak.

2.    Tujuan Khusus
Tujuan khusus merupakan pengkhususan dari tujuan umum. Kita tahu bahwa tujuan umum pendidikan adalah kedewasaan. Kedewasaan disini masih general sifatnya. Banyak faktor yang membentuk kedewasaan, sehingga dapat dikatakan tujuan khusus dari pendidikan mencakup segi-segi tertentu. Pengkhususan tujuan ini dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu, misalnya disesuaikan dengan seperti dibawah ini.
a.    Cita-cita pembangunan suatu masyarakat/bangsa.
b.    Tugas suatu badan atau lembaga pendidikan.
c.    Bakat dan kemampuan anak didik.
d.   Kesanggupan-kesanggupan yang ada pada pendidik.
e.    Tingkat pendidikan, dan sebagainya.
(Umar Tirtaraharja, dkk, 2005:38-39)
3.    Tujuan Insidental/sewaktu
Tujuan ini disebut tujuan seketika/insidental karena tujuan ini timbul secara kebetulan, secara mendadak dan hanya bersifat sesaat.Tujuan seketika ini meskipun hanya sesaat, namun ikut andil dalam pencapaian tujuan selanjutnya. Melalui tujuan-tujuan insidental seperti ini, akan diperoleh pengetahuan dan pengalaman langsung yang erat hubungannya dengan kehidupan dimasa yang akan datang.

4.    Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang terdapat dalam langkah-langkah untuk mencapai tujuan umum (merupakan pijakan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi). Dengan kata lain, tujuan sementara adalah tujuan pendidikan yang dicapai seseorang pada setiap fase perkembangan. Misalnya saat seorang anak diajarkan untuk dapat berjalan ia harus mengalami beberapa tahapan dari merangkak, berdiri, berjalan terpatah-patah sampai akhirnya dia bisa berjalan. Inilah yang disebut tujuan sementara.

5.    Tujuan Tak Lengkap
Tujuan tak lengkap adalah tujuan yang hanya membahas tentang salah satu aspek pendidikan. Tujuan ini erat hubungannya dengan aspek-aspek pendidikanyang akan membentuk aspek-aspek kepribadian manusia, sepertimisalnya aspek-aspek pendidikan yaitu kecerdasan, moral, sosial,keagamaan, estetika, dan sebagainya.

6.    Tujuan Intermedier/perantara
Tujuan perantara ini merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Misalnya saja seseorang yang bersekolah tujuannya adalah akhirnya adalah lulus, ketika dia naik kelas dari kelas satu ke kelas dua dan dari kelas dua ke kelas tiga itu merupakan tujuan intermedier/tujuan perantara.
Keenam tujuan tersebut menurut Langeveld intinya dapat disederhanakan menjadi satu macam saja, yaitu “tujuan umum” dimana kelima tujuan yang lainnya diarahkan untuk pencapaian tujuan umum pendidikan yaitu terbentuknya kehidupan sebagai insan kamil, satu kehidupan dimana ketiga inti hakikat manusia baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk susila/religius dapat terwujud secara harmonis.
Hierarki tujuan pendidikan dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan yang terjabar mulai dari :
1.      Cita-cita nasional/tujuan nasional (Pembukaan UUD 1945)
2.       Pendidikan Nasional (dalam Sistem Pendidikan Nasional),
3.       Tujuan Institusional (pada tiap tingkat pendidikan/sekolah),
4.       Tujuan kurikuler (Pada tiap-tiap bidang studi/mata pelajaran atau kuliah)
5.       Tujuan instruksional yang dibagi menjadi dua yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.

Dengan demikian tampak keterkaitan antara tujuan instruksional yang dicapai guru dalam pembelajaran dikelas, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari falsafah hidup yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Manfaat tujuan dalam pendidikan adalah:
1.    Sebagai Arah Pendidikan, tujuan akan menunjukkan arah dari suatu usaha, sedangkan arah menunjukkan jalan yang harus ditempuh dari situasi sekarang kepada situasi berikutnya.
2.     Tujuan sebagai titik akhir, suatu usaha pasti memiliki awal dan akhir. Mungkin saja ada usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan mencapai tujuan, namun usaha itu belum bisa dikatakan berakhir. Pada umumnya, suatu usaha dikatakan berakhir jika tujuan akhirnya telah tercapai.
3.    Tujuan sebagai titik pangkal mencapai tujuan lain, apabila tujuan merupakan titik akhir dari usaha, maka dasar ini merupakan titik tolaknya, dalam arti bahwa dasar tersebut merupakan fundamen yang menjadi alas permulaan setiap usaha.
4.    Memberi nilai pada usaha yang dilakukan

C.  Batasan Pendidikan
Dalam pelaksanaan sebuah pendidikan, ada hal-hal yang membatasi. Batas-batas Pendidikan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan atau ketidakberdayaan pendidikan dalam melakukan tugas-tugas pendidikan. Batas-batas yang mempengaruhi pendidikan tersebut adalah sebagai berikut.
1.    Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab membimbing seorang anak untuk mencapai kedewasaanya. Yang dimaksud pendidik disini adalah orang tua dan guru. Keduanya memiliki peran yang sama penting dalam membantu proses pencapaian kedewasaan anak. Orang tua tentu saja memegang peran utama dalam proses ini, karena orang tua merupakan tempat pertama dan utama bagi seorang anak untuk bertinteraksi dengan pendidikan. Ketika anak berada di sekolah, orang tua memiliki keterbatasan dalam melakukan pendidikan terhadap anak. Untuk itulah guru melakukan peran pengganti sebagai orang tua yang akan melaksanakan pendidikan bagi anak, di sekolah.

2.    Aspek pribadi anak didik
Anak didik adalah sosok manusia/individu. Menurut Abu Ahmadi “Individu adalah orang yang tidak tergantung pada orang lain, dalam arti benar-benar seorang pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidak dapat dipaksa dari luar, mempunyai sifat-sifat dan keinginan sendiri”. Kondisi inilah yang membatasi sebuah pendidikan.Berhasil atau tidaknya suatu pendidikan, sangat tergantung pada seberapa jauh anak didik mampu menerima pendidikan yang diberikan.Anak didik harus diakui keberadaannya.Mereka tidak bisa begitu saja diperintah untuk mengikuti keinginan kita.  Kita harus dapat memasuki dunia mereka, sehingga kita dapat mengetahui apa yang mereka inginkan dan mereka sukai. Dengan demikian proses pendidikan akan bisa berlangsung dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

3.    Alat pendidikan
Alat pendidikan merupakan suatu perbuatan atau situasi yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.Alat pendidikan digunakan untuk mendidik anak secara pedagogis. Misalnya jika seorang ibu membersihkan dan merapikan rumah setiap hari dalam rangka memberikan kenyamanan bagi keluarganya, maka ia telah menyediakan lingkungan pendidikan (keluarga). Jika ibu ini menggunakan kegiatan membersihkan rumah ini untuk menasehati anaknya agar menjaga kebersihan karena merupakan bagian dari keimanan, maka memberikan nasehat merupakan alat pendidikan, dan kondisi rumah yang bersih merupakan alat bantu pendidikan. Alat pendidikan menurut Langeveld dipilih atas empat aspek :
a.    Berhubung dengan tujuan pendidikan
b.     tua yang akan menggunakan alat tersebut
c.    Bahan perantara (medium) tempat pemakaian alat itu ditunjukkan, berhubungan dengan jenis bahan objek, yang hendak diolah untuk mencapai tujuan.
d.    Berhubungan dengan pertanyaan, apakah akibat dari penggunaan alat tersebut.

Selanjutnya Langeveld (1980) pengelompokan lima jenis alat pendidikan yaitu :
a.    Perlindungan
            Perlindungan merupakan aspek pertama dalam melakukan pendidikan. Sebagai pendidik tentu saja kita harusa mampu memberikan perlindungan pada anak didik kita, karna tanpa semua itu anak tidak akan mau diajak dalam proses pendidikan. Perlindungan tersebut tidak hanya bersaifat fisik akan tetapi secara fsikisnya juga. Namun karena anak itu paling tidak bisa dilarang oleh karena itu sebagai pendidik kita harus memberikan perlindungan dalam bentuk pengawasan yang baik.
b.   Kesepahaman
Kesepahaman ini terjadi saat guru menjadi contoh untuk anak didiknya dengan memperhatikan secara tidak langsung, anak akan meniru apa yang gurunya lakukan. Tapi tetap saja kesepahaman ini bisa terjadi jika anak sudah merasa aman jika sedang bersama gurunya. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa alat pendidikan ini berhasil membawa anak untuk mengikuti apa yang gurunya lakukan, tentu saja peniruan untuk melakukan kesepahaman ini haruslah bersifat positif.
c.    Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan
Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan ini ialah berupa tanggung jawab.Misalnya saat sedang bermain seorang guru hendaknya memberikan kepercayaan pada anak didiknya agar anak didiknya mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan semua tugasnya.
d.   Perasaan bersatu
Perasaan bersatu ini akan timbul karena interaksi yang berlangsung antara pendidik dan anak didik yang terus menerus. Misalnya karena kebiasaan pendidik dan anak didik yang selalu bersama-sama setiap hari disekolah dalam melewati pelajaran itu akan membentuk kenyamanan pada diri anak yang membuat perasaan bersatu itu muncul pada diri keduanya.
e.    Pendidikan karena kepentingan diri sendiri
Pedidikan karena kepentingan diri sendiri, berarti pad saat itu si  anak sudah menyadari bahwa dirinya mempunyai kesadaran bahwa dirinya sudah mampu membentuk karakternya sendiri. Tugas seorang pendidik disini ialah memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak didik untuk melaksanakan tugas sesuai keinginan hatinya.


4.    Waktu pelaksanaan
Pada saat anak usia dini, hubungan anak dengan pendidik belum disebut sebagai kegiatan pendidikan melainkan baru dalam proses/taraf pembiasaan. Karena anak usia dini masih bersifat serba menerima, mereka belum memahami apa itu perintah, aturan, norma dan lain sebagainya. Kegiatan pembiasaan tersebut merupakan langkah awal yang dilakukan oleh pendidik untuk mencapai kedewasaan seorang anak atau disebut juga dengan pendidikan pendahuluan.Perbedaan pendidikan pendahuluan dengan pendidikan sebenarnya adalah ketika terjadi hubungan wibawa antara pendidik dan anak didik. Jadi pendidikan yang sebenarnya bukan merupakan kebiasaan melainkan terjadi ketika hubungan wibawa itu ada, ketika anak telah mampu menerima petunjuk dan perintah bukan hanya atas dasar ikut-ikutan atau meniru orang lain.

5.    Aspek tujuan
Tujuan pendidikan adalah mengantarkan anak untuk mencapai kedewasaan.Tujuan pendidikan dibagi kedalam 2 tujuan, secara mikro dan makro.Tujuan pendidikan secara mikro adalah untuk menjadikan anak didik menjadi dewasa.Sedangkan secara makro yaitu menyiapkan manusia supaya lebih bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan bangsanya. Anak dikatakan mencapai kedewasaannya apabila dia sudah bisa dan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain baik secara biologis, psikologis, ekonomi dan sosial.

6.    Aspek lingkungan
Lingkungan tempat dimana kita bertempat tinggal dan mendapatkan pendidikan merupakan lingkungan pendidikan. Lingkungan disekitar anak dapat dibedakan menjadi 4 macam:
a.    Lingkungan alam fisik, merupakan lingkungan berupa alam disekitar kita seperti tumbuhan, hewan, udara, rumah dan lain-lain.
b.   Lingkungan budaya, berupa kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, adat istiadat, bahasa, seni dan lain-lain.
c.    Lingkungan sosial, berupa hubungan interaksi antar individu yang hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain, tyermasuk didalamnya tentang sikap, perilaku, norma antar setiap individu.
d.   Lingkungan spiritual, berupa lingkungan agama, keyakinan yang dianut masyarakat yang ada disekitar kehidupan dia.

Manakala faktor-faktor tersebut, ada yang tidak mendukung, maka disitulah sering terjadi kendala bagi diberlangsungkannya proses pendidikan. Sebagai contoh bakat dan minat anak yang tidak ada pada suatu bidang ajar, atau intelejensi anak yang rendah untuk materi ajar yang memerlukan kecerdasan, atau kondisi fisik anak yang tidak mendukung untuk mata ajar yang memerlukan kesempurnaan fisik, atau psikis anak yang labil, atau back ground anak dari keluarga yang tidak mampu, broken home, berasal dari masyarakat yang tidak peduli terhadap pendidikan, atau lingkungan sekolah yang diselenggarakan berada jauh dibawah ukuran standard (baik manajemen, pembelajaran dan fasilitasnya), maka semuanya itu menjadi pembatas bagi dilangsungkannya pendidikan bagi anak tersebut.

D.  Keharusan dan Kemungkinan Pendidikan
Kemungkinan dan keharusan pendidikan adalah hal-hal yang menyebabkan dimungkinkan dan diharuskannya pelaksanaan tugas-tugas pendidikan.
Manusia sejak lahir sangat membutuhkan bantuan orang lain, khususnya kedua orang tuanya. Dapat dibayangkan seandainya anak manusia pada saat lahir dibiarkan begitu saja oleh ibunya, tanpa sentuhan apapun sedikitpun. Dengan mengabaikan kekuasaan Tuhan, kematianlah yang akan menjemputnya pada anak yang ditelantarkan tersebut.
Keharusan mendidik anak telah disebut-sebut, misalnya karena anak pada saat lahir dalam keadaan tidak berdaya, anak tidak langsung dewasa, sehingga anak memerlukan perhatian dan bantuan orang lain. Dengan keterbatasan kemampuan anak menyebabkan ia perlu mendapat pendidikan. Keterbatasan anak dikarenakan, anak lahir dalam keadaan tidak berdaya, dan ia tidak langsung dewasa.
1.    Keharusan Pendidik
Keharusan manusia untuk mendapatkan pendidikan dapat kita simak dari uraian di bawah ini:
a.    Anak Dilahirkan dalam Keadaan Tidak Berdaya
Dilihat dari sudut anak, pendidikan merupakan suatu keharusan. Pada waktu lahir anak manusia belum bisa berbuat apa-apa. Sampai usia tertentu anak masih memerlukan bantuan orang tua. Begitu anak lahir ke dunia, ia memerlukan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya, dan berdiri sendiri, berbeda dengan binatang yang begitu lahir sudah dilengkapi kelengkapan fisiknya dan dapat berbuat sesuatu untuk mempertahankan hidupnya.
Misalnya anak harimau begitu lahir sudah dilengkapi dengan bulu yang dapat melindungi tubuhnya dari kedinginan. Begitu lahir setelah dibersihkan oleh induknya anak harimau tersebut sudah bisa bergerak untuk mencari susu induknya, walaupun belum memiliki kemampuan melihat secara normal. Beberapa jenis hewan yang baru keluar dari telurnya langsung bergerak seperti pada kura-kura, buaya, dan sebagainya. Begitu juga pada binatang lainnya khususnya binatang menyusui seperti kuda, kambing, kera dan sebagainya.
Hal tersebut tidak demikian pada manusia. Manusia perlu mendapat bantuan orang lain untuk dapat menolong dirinya untuk sampai kepada dewasa. Masa pendidikan manusia memerlukan waktu yang lama karena di samping manusia harus dapat mempertahankan hidupnya dalam arti lahir, ia juga harus memiliki bekal yang berkaitan dengan moral, memiliki pengetahuan, dan keterampilan lainnya yang diperlukan untuk hidup. Makin tinggi peradaban manusia, makin banyak yang harus dipelajari agar dapat hidup berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain.
Oleh karena itu, anak/bayi manusia memerlukan bantuan, tuntunan, pelayanan, dorongan dari orang lain demi mempertahankan hidup dengan belajar setahap demi setahap untuk memperoleh bekal nilai-nilai moral, memiliki kepandaian dan keterampilan, serta pembentukan sikap dan tingkah laku sehingga lambat laun dapat berdiri sendiri yang semuanya itu memerlukan waktu yang cukup lama.
Dilihat dari orang tua pendidikan juga merupakan suatu keharusan. Tanpa ada yang memaksa, dengan sendirinya orang tua akan mendidik anaknya. Hal tersebut disebabkan karena adanya rasa kasih sayang dan rasa tanggung jawab dari orang tua terhadap anaknya. Perasaan kasih sayang merupakan fitrah kemanusiaan yang akan timbul dengan sendirinya pada manusia. Rasa tanggung jawab menyebabkan orang tua, bahwa anak itu perlu memperoleh bimbingan agar ia di kemudian hari dapat berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Anak perlu mendapat pendidikan dan orang tua merasa wajib untuk memberikan pendidikan bagi anaknya. Keduanya bertemu dalam kegiatan pendidikan yang berlangsung secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga.
Pendidikan karena dorongan orang tua, yaitu hati nuraninya yang terdalam yang memiliki sifat kodrati untuk mendidik anaknya baik dari segi fisik, sosial, emosi, maupun intelegensinya agar memperoleh keselamatan, kepandaian, memperoleh kebahagiaan hidup yang dicita-citakan, sehingga ada tanggung jawab moral atas hadirnya anak tersebut yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dapat dipelihara, dan dididik dengan sebaik-baiknya.




b.   Manusia Lahir Tidak Langsung Dewasa
Untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan pendidikan dalam arti khusus, memerlukan wazktu lama. Pada manusia primitif mungkin proses pencapaian kedewasaan tersebut akan lebih pendek dibandingkan dengan manusia modern dewasa ini. Pada manusia primitif cukup dengan mencapai kedewasaan secara konvensional, di mana apabila seseorang sudah memiliki keterampilan unuk hidup, khususnya untuk hidup berkeluarga, seperti dapat berburu, dapat bercocok tanam, mengenal nilai-nilai atau norma-norma hidup bermasyarakat, sudah dapat dikatakan dewasa. Dilihat dari segi usia, misalnya usia 12-15 tahun, pada masyarakat primitif sudah dapat melangsungkan hidup berkeluarga. Pada masyarakat modern tuntutan kedewasaan lebih kompleks, sesuai dengan makin kompleksnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga makin kompleksnya sistem nilai.
Untuk mengarungi kehidupan yang dewasa, manusia perlu dipersiapkan, lebih-lebih pada masyarakat modern. Bekal tersebut dap[at diperoleh dengan pendidikan, di mana orang tua atau generasi tua akan mewariskan pengetahuan, nialai-nilai, serta keterampilannya kepada anak-anaknya atau pada generasi berikutnya.
Manusia merupakan makhluk yang dapat dididik, memungkinkan untuk memperoleh pendidikan. Manusia merupakan makhluk yang harus dididik, karena manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, lahir tidak langsung dewasa. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya.

c.    Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Ia tidak akan menjadi manusia seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, di mana pun hewan dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku hewan. Seekor kucing yang dibesarkan dalam lingkungan anjing akan tetap berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.
Manusia hidup bersama orang lain, tidak sendirian. Mereka menentukan berbagai perjanjian agar hidup bersama itu menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan bagi masyarakat, dan juga menguntungkan bagi kehidupan individu masing-masing. Manusia sebagai makhluk sosial, disamping memiliki dorongan untuk hidup secara individual, ia juga menunjukan gejala-gejala sosial. Ia senang hidup bersama dengan orang lain.
Seorang manusia perlu mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu agar ia dapat hidup bersama dengan orang lain. Kalau tidak, akan berbuat di luar perjanjian (kebiasaan, adat, aturan) yang berlaku. Hal itu berarti bahwa ia tidak dewasa secara sosial. Walaupun secara biologis ia sudah matang, tetapi untuk hidup bersama dengan orang lain, ia perlu mendapatkan pendidikan.
Kalau manusia bukan makhluk sosial, atau ia tidak hidup bersama-sama dengan orang lain, pada hakikatnya ia hidup sendiri-sendiri. Maka hidup manusia itu tidak ada bedanya dengan kehidupan hewan. Dalam kehidupan seperti ini, manusia tidak dapat dipengaruhi, karena ia telah membawa pola hidupnya yang tetap dan tidak perlu lagi belajar dari orang lain atau melalui apapun. Ia sudah dalam keadaan matang untuk mengikuti kehidupan yang polanya sudah ada (terjadi). Dalam keadaan demikian, pendidikan tidak perlu lagi karena memang tidak diperlukan.

d.   Manusia sebagai Makhluk Individu yang Berdiri Sendiri
Pengertian makhluk sosial tidak berarti bahwa individu (perorangan) tiadak ada. Pengertian sosial harus diartikan bahwa manusia hidup bersama dalam kepribadian sendiri-sendiri. Ia masih tetap berdiri sendiri, namun bersama-sama dengan orang lain. Pergaulan hidup, adalah hidup antara pribadi-pribadi (individu-individu) satu sama lain. Tidak berarti bahwa individu itu luluh menyatu dengan yang lain, seperti halnya boneka-boneka yang hanya bergerak dengan pola yang sama. Manusia memang hidup bersama, namun tetap secara individu dan individu.
Dengan adanya pribadi-pribadi orang perorangan yang berbeda, karena itulah pendidikan diperlukan, karena setiap orang yang bersifat individu itu perlu belajar hidup dengan individu lannya. Pendidikan tidak mendidik agar setiap orang (individu) dapat berperilaku sebagai individu bersama dengan individu lainnya.

e.    Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Bertanggung Jawab
Seorang manusia mampu atau tepatnya harus mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Setiap tindakan manusia membawa akibat, dan sering kali akibat itu menimpa orang lain, karena kita hidup bersama-sama dengan orang lain. Seekor hewan kalau berbuat sesuatu tidak akan mengerti akibat yang timbul dari tindakan tersebut, karena ia tidak mampu berpikir, dan tindakannya hanya didasarkan oleh insting belaka.
Manusia akan dapat memperhitungkan akibat tindakannya, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Karena itulah manusia patut diminta pertanggung jawaban atas segala perbuatannya, karena kita pradugakan ia akan mengerti apa akibatnya. Pendidikan di samping mengajar orang agar menjadi tahu, dan terampil, pendidikan juga mengembangkan sikap. Sikap yang utama adalah sikap tanggung jawab, karena makhluk sosial manapun memang harus bertanggung jawab.
Bertanggung jawab adalah sejajar dengan manusia sebagai makhluk sosial. Kalau sikap bertanggung jawab tidak dimiliki setiap oleh setiap insan, maka kehidupan akan kacau, kaerena manusia akan bertindak semaunya, setiap orang hanya akan menuruti kehendaknya sendiri, dan tidak akan bertahan hidup lama.
Pendidikan itu sendiri merupakan tindakan yang bertanggung jawab, yaitu bertanggung jawab terhadap generasi manusia selanjutnya, karena kita tahu bahwa setiap anak membutuhkan bantuan. Kalau tidak bertanggung jawab terhadap generasai berikutnya, mereka akan terlantar. Disinilah pendidikan bertanggung jawab bagi kelanjutan kehidupan dan hidup generasi berikutnya.
Untuk melaksanakan pendidikan diperlukan adanya kesediaan anak didik untuk menerima pengaruh. Pada saat anak masih kecil kesediaan ini belum ada, baru timbul kemudian kalau anak itu merasa dirinya tidak mampu melakukan sesuatu dan perlu bantuan orang lain, sehingga ia perlu belajar dari orang lain. Selama anak belum mau menerima pengaruh orang lain diluar dirinya, tidak akan muncul ketaatan terhadap pihak lain yang berusah mempengaruhinya. Kalau anak sudah menyadari kekurangannya, ia akan mau menerima pengaruh dan mau taat, dengan kata lain ia mau menerima kewibawaan pendidik.

f.     Sifat Manusia dan Kemungkinan Terjadinya Pendidikan
Apa sebabnya pendidikan hanya terjadi pada manusia? Pada tumbuh-tumbuhan sebagai makhluk hidup sama sekali tidak terjadi pendidikan. Pada tingkat hewan ada perilaku yang mirip dengan pendidikan, namun sangat jauh berlainan dengan pengertian pendidikan yang sebenarnya. Tindakan yang mirip pendidikan itu disebut “dressur” ( pembiasaan dan dilatih terus menerus ).
Anak anjing meniru induknya, dengan jalan bermain-main, dia melepaskan dorongan untuk berkelahi. Dia berkelahi ( main-main ) dengan induknya, sedangkan induknya sengaja membuat dirinya seperti bermain berkelahi juga. Kejadian tersebut seolah-olah pada induk anjing ada keinginan untuk “ mendidik “ anaknya. Dorongan untuk bermain seperti itu pada anjing-anjing tersebut tidak didasarkan atas kesadaran bahwa dirinya ( anak anjing ) tidak mampu, yang harus belajar kepada anjing lain. Bukan itu yang menjadi alasan anak anjing dan induknya bermain, namun didasarkan dorongan untuk berbuat, bergerak. Pada anjing-anjing tersebut tidak ada kesengajaan untuk berbuat atas kesadaran atas kekurangan dan ketidak mampuannya. Misalnya sang induk anjing sadar bahwa anaknya tidak mampu dan masih banyak kekurangan dalam pengalamannya. Dari anak anjing tidak ada kesediaan menerima pengaruh dari induknya, tidak ada kewibawaan.
Pada manusia juga terjadi “ dressur “ pada saat anak belum memiliki kesadaran akan kekurangan dirinya. Pada saat itu anak merasakan untuk meniru dan berbuat, akan berbuat sesuatu. Anak usia sekitar 2 – 6 tahun misalnya, ia akan berbuat apa saja, ia bergerak menurut kemauannya. Anak dibelikan sepeda oleh ayahnya agar anak bisa naik sepeda dan ayahnya mendorong sepeda tersebut. Namun apa yang terjadi anak tidak mau naik sepeda, bahkan ia akan turun dan mendorong sepeda tersebut seperti ayahnya mendorong sepeda tadi.
Contoh lain anak akan mengambil benda yang ia temukan disekelilingnya, melihat pisau ( padahal pisau itu sangat tajam ) ia akan ambil dan digosok-gosokkan seperti menirukan ibunya mengguanakan pisau tersebut, mungkin juga digosokan ke tangannya. Sang ibu sangat cemas berkata setengah berteriak, “ Auuu…anakku sayang jangan pake pisau itu, ibu pinjam ya sayang”. Sang anak tidak mau melepaskan pisau itu. Kalau diambil secara paksa ia akan menangis, caranya cari pisau lain atau benda lain yang menyerupai pisau yang tumpul lalu berikan kepadanya.
Anak melihat orang tuanya waktu mandi menggosok gigi, dengan gesitnya anak mengambil sikat gigi ibunya dan ingin pakai pastanya. Disinilah si ibu mencoba melatih si anak untuk menggosok giginya, dan si anak dengan senangnya menggosok giginya walaupun tidak benar. Anak makan dengan orang tuanya, ia memperhatikan orang tuanya memakai sendok dan garpu, dengan cepatnya sang anak mengambil sendok makan, walaupun cara memegangnya dan cara memasukan ke mulutpun belum pas dan benar. Disini sang ibuu melatih anaknya membetulkan bagaimana cara memegang sendok, dan bagaimana memasukannya kedalam mulutnya.
Dalam kejadian di atas, ayah melatih anaknya naik sepeda dan ibunya melarang anaknya menggunakan pisau supaya jangan bermain dengan pisau, ibu melatih anaknya menggosok gigi, sang ibu melatih anaknya menggunakan sendok, itu semuanya belum temasuk pendidikan yang sebenarnya, karena anak belum memahami, menyadari apa artinya perintah atau kemauan ayahnya untuk naik sepeda, dan anak juga tidak paham mengapa ibunya melarang bermain dengan pisau, mengapa harus menggosok gigi dan mengapa makan haruus pakai sendok. Yang dilakukan oleh kedua orang tua anak itu bukan pendidikan dalam arti sesungguhnya melainkan merupakan suatu “ dressur “.
Jadi dengan sifat anak suka meniru beridentifikasi dengan orang lain, suka bermain, bisa menerima pengaruh dan menerima kewibawaan orang lain, merupakan keharusan bagi orang tua ( pendidik ) membimbingnnya. Pendidikan harus menjadi contoh bagi anak didiknya, memberi pengaruh yang positif untuk mengisi kedewasaan anak kelak.

2.    Kemungkinan Dididik
Persoalan lain adalah kemungkinan dididik. Persoalan ini di ajukan, karena adanya berbagai pendapat tentang pendidikan. Misalnya ada pendapat tentang perkembangan manusia, bahwa kedewasaan semata-mata merupakan hasil dari proses alami yang berlangsung selaras dengan hukum alam. Bila demikian, mungkinkah manusia dididik? Tidakkah usaha pendidikan hanya akan sia-sia belaka?
Diakui bahwa pada manusia ada hal-hal tertentu yang didapatkan secara alami, dan hal itu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Misalnya tentang bakat dan jenis kelamin. Orang dilahirkan dengan bakat bawaan tertentu. Hal ini diluar kemampuannya. Dan memang untuk hal-hal orang tidak dapat  diminta pertanggung jawaban. Pendidik tidak dapat berbuat apa-apa dengan bakat itu, dalam arti pendidik harus menolak bakat tersebut, atau sebaliknya biarkan anak berkembang secara alamiah tanpa camur tangan pendidik.
Sejak dahulu orang berpendapat, bahwa bakat yang dibawa lahir seseorang belum merupakan kenyataan, melainkan potensi. Jadi tentaang adanya bakat-bakat tertentu, pendidik tidak bertanggung jawab. Yang dapat diusahakannya melalui pendidikan, dan hal itu termasuk ruang lingkup tanggung jawabnya ialah, apa yang telah diperbuatnya sehubungan dengan bakat yang  dimiliki anak itu? Apakah dibiarkan saja merana ataukah dipupuk dan dikembangkan, dan bakat mana yang dikembangkan? Seberapa jauhkah bakat yang dimiliki anak didik itu telah dimanfaatkan dalam rangka pencapaian dan pengisian kedewasaan itu?
Demikian pula dengan jenis kelamin. Orang tidak dapat diminta pertanggung jawaban tentang jenis kelamin yang dimilikinya. Mengapa anda menjadi wanita? Mengapa jadi pria? Namun yang dapat dan harus menjadi pertanggung jawaban pendidik, dan juga tanggung jawab yang bersangkutan  apabila telah dewasa ialah, seberapa jauhkah ia telah menjadikan kepribadian kelaki-lakian atau kewanitaanya sebagai “ model “ dalam pengisian dan pencapaian kedewasaannya sebagai pria dewasa atau wanita dewasa?
Jadi permasalahannya disini bukan persoalan jenis bakat atau jenis kelaminnya, melainkan dengan situasi seperti itu seberapa jauhkah pendidikan telah berperan? Apakah pendidikan sudah “ bermanfaat “ secara optimal dalam mendewasakan anak sesuai dengan nilai-nilai manusiawi?
Sehubungan dengan masalah batas pendidikan perlu dikemukakan, bahwa batas kemungkinan pendidikan tidak dapat disamaratakan bagi semua orang. Tidak dapat dikatakan, bahwa untuk semua orang terdapat batas kemungkinan dididik yang sama. Sebab masing-masing individu bersifat unik. Akan tetapi secara umum dapat dikatakan, bahwa kemungkinan dididik itu tercapai mana kala tidak dapat dikembangkan lagi lebih lanjut kehidupan rohaninya khususnya kehidupan moralnya. Adapun yang menjadi latar belakangnya dapat beraneka ragam. Mungkin karena bakat bawaannya, mungkin karena potensi kecerdasan yang berbeda, seperti berbeda dalam potesi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, atau mungkin terdapat kelainan.

3.    Tutwuri Handayani
Tutwuri handayani, merupakan konsep pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Nasional Pendidikan, diman hari kelahirannya dijadikan hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 mei, dan beliau adalah pendiri Perguruan Taman siswa. Tutwuri handayani berasal dari bahasa jawa: “tut wuri” berarti mengikuti dari belakang, “handayani” mendorong, memotivasi, atau membangkitkan semangat. Dari arti katanya dapat ditafsirkan, bahwa tut wuri handayani, mengakui adanya pembawaannya, bakat, atupun potensi yang dimiliki anak yang dibawa sejak lahir. Dengan kata “tut wuri” pendidik diharapkan dapat melihat, menemukan, dan memahami bakat atau potensi yang muncul dan terlihat pada anak didik, untuk selanjutnya mengembangkan pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.
Di bandingkan dengan keempat aliran yang telah dijelaskan, konsep tut wuri handayani, lebih dekat pada aliran konvergensi dari William Stern, yang berpendapat bahwa perkembangan anak ditentukan oleh bagaimana interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang dimiliki anak dengan lingkungan atau bimbingan (pendidikan) yang mempengaruhi anak dalam perkembangannya. Dengan kata lain watak atau karakter anak yang menjadi kepribadiannya, dan ada yang ditentukan oleh lingkungannya, tergantung pada yang lebih dominan dalam interaksi antara keduanya.
Tut wuri handayani tidak bisa dipisahkan dari konsep pendidikan Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Ing ngarso sung tulodo, berarti apabila pendidik berada didepan, ia harus memberi contoh yang baik terhadap anak didiknya. Ing ngarso = didepan, sung – asung = memberi, tulodo = contoh.
Ing madya mangun karso berarti apabila pendidik berada di ”tengah-tengah” bersam anak didiknya, ia harus mendorong kemauan anak, membangkitkan kreativitas dan hasrat untuk berinisiatif dan berbuat. Ing madya = ditengah-tengah, mangun = membangun, karso = keehendak atau kemauan. Ditambah dengan tut wuri handayani seperti telah dijelaskan, maka ketiganya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lainnya.
Jadi pendidikan menurut konsep Ki Hajar Dewantara merupakan hasil interaksi antara pembawaan dan potensi dengan bakat yang dimiliki anak, dimana dalam proses interaksi tersebut pendidik memiliki peran aktif, tidak menyerahkan begitu saja kepada anak didik, dan sebaliknya pendidik tidak boleh dominan menguasai anak.

4.    Naturalisme
Aliran naturalisme yang dipelopori Rousseau berpandangan bahwa semua anak dilahirkan berpembawaan baik, dan perbawaan baik anak tersebut akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan anak dewasa bisa merusak pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini biasa disebut juga negativisme, karena pendidik harus membiarkan pertumbuhan anak pada awal. Jadi pendidikan dalam arti bimbingan dari orang luar (orang dewasa) tidak diperlukan.


5.    Nativisme
Aliran nativisme dipelopori oleh Schopenhauer (filosof Jerman:1788-1860) berpendapat bahwa “ The world is my idea, the world like man, is throught idea”. Segala kejadian di dunia dipandangnya sebagai manifestasi dari benih yang ada padanya sejak semula. Perkembangan manusia hanya merupakan semacam penjabaran yang telah dibawakan dari yang telah disiapkan semula, yang telah dibawakan sejak kelahirannya.
Aliran ini berkeyakinan bahwa anak yang baru lahir membawa bakat, kesanggupan, dan sifat-sifat tertentu. Bakat, kemampuan, dan sifat-sifat yang dibawa sejak lahir sangat menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak manusia. Pendidikan dan lingkungan tidak terpengaruh terhadap perkembangan anak. Misalnya seorang anak yang mempunyai bakat melukis, maka pikirannya, perasaannya, dan kemauannya, serta seluruh kepribadiannya tertuju kepada melukis.

6.    Empirisme
Pandangan empirisme dari John Locke menetapkan bahwa keadaan manusia saat dilahirkan diumpamakan sebagai “ tabula rasa ”, yaitu sebuah meja yang dilapisi lilin, yang digunakan di sekolah dalam rangka belajar menulis. Teori ini mengatakan bahwa anak yang dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi. Sejak lahir anak tidak memiliki bakat dan apa-apa, anak dapat dibentuk semaunya pendidik, disini kekuatan untuk anak ada pada pendidik, sehingga lingkungan dalam hal ini pendidikan berkuasa atas pembentukan anak.

7.    Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari ahli psikologi berkebangsaan Jerman, bernamaWilliam Stern, yang berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan keduanya membentuk perkembangan manusia. Implikasinya bagi pendidikan adalah, bahwa dalam melaksanakan pendidikan, kedua momen pembawaan dan lingkungan (pengalaman), hendaknya mendapat perhatian seimbang. Dalam perkembangan manusia, pendidikan memegang peranan yang penting, namun demikian seorang pendidik tidak pada tempatnya dengan bangga menunjukan: “Inilah hasil didikan saya!”. Sebab upayanya itu tergantung pula pada situasi saat pendidikan itu berlangsung, dari cara anak menerimanya (atau menolaknya), dari bakat dan kemampuan yang ada pada anak, sangat sulit ditentukan mana hasil didikan, mana penjabaran bakat dan bawaan. Hendaknya seorang pendidik tetap memiliki optimisme, namu patut diingat, bahwa banyak variabel yang turut menentukan keberhasilan pendidikannya.

Anak manusia telah diakui oleh para ahli berbagai pakar disiplin ilmu yang berbeda, memiliki potensi untuk kemungkinan dididik dan bahkan menjadikannya harus dididik, umpamanya :
1.    Filsafat
Pakar Filsafat menilai manusia sebagai Homo Sapien, makhluk yang memiliki akal, karenanya dia mungkin dan harus dididik agar dapat berkembang kearah yang diinginkan.
2.    Sosiologi
Pakar sosiologi menganggap manusia sebagai Homo socius, yakni makhluk yang punya keinginan untuk hidup bersama. Dengan kebersamaan ini dimungkinkannya terjadi proses transfer nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan. Karenanya dengan potensi ini manusia dimungkinkan untuk dididik. Dasar kehidupan sosial adalah karena adanya kebutuhan. Agar kehidupan sosial itu berjalan dengan baik dan langgeng, maka diperlukan adanya nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan itu, sehingga memang manusia harus dididik.
3.    Psikologi
Dalam pandangan psikologi, bahwa manusia bukan hanya terdiri bentuk lahir dengan panca inderanya saja, tapi juga memiliki aspek psikis dengan berbagai demensinya, seperti emosi, intelegensi, konasi, imajinasi (daya khayal), dll. Yang semua itu memungkinkan dan mengharuskan manusia untuk dididik, sehingga dapat berkembang menjadi manusia yang sempurna bukan hanya aspek pisik tapi juga aspek psikisnya.
4.    Antropologi
Dalam pandangan antropologi manusia adalah makhluk yang berbudaya, karena manusia mempunyai akal dan rasa keingintahuan dan punya kemampuan pisik untuk mengembangkannya. Potensi akal dan keingintahuan serta kemampuan untuk mengembangkan ini adalah potensi yang menyebabkan manusia mungkin dan harus didik, sehingga budaya manusia terus berkembang kearah kesempurnaan.

5.    Psikologi-Agama
Dalam pandangan psikologi agama, manusia adalah human religious, atau mahkluk yang memiliki potensi beragama. Potensi ini dapat menjadi dasar bagi dimungkinkannya manusia dididik dan adalah merupakan suatu keharussan untuk mendidiknya agar menjadi manusia yang beragama secara benar.
6.    Agama Islam
Sebagai sebuah agama yang universal, Islam memandang manusia (anak) sebagai makhluk yang memiliki tiga unsur pokok, yaitu tubuh, hayat dan jiwa. Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur, hayat yang berarti hidup, akan hancur bersama dengan datangnya kematian,  sedangkan jiwa bersifat kekal. Berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, “mereka mempunyai jiwa, tapi eksistensi jiwa di sini terikat dengan tubuh yang bersifat materi, karenanya jika makhluk yang bersangkutan mati,  jiwanya pun ikut hancur”  karena jiwa yang dimaksud di sini oleh sebahagian kalangan filosof Islam adalah hayat yang berarti hidup. Manusia dipandang dalam islam sebagai makhluk yang termulia diantara makhluk-makhluk Allah yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Sadulloh uyoh, dkk,2007,Pedagogik, Bandung, UPI Press

Zakapedia. (2015). Pengertian Pendidikan, Tujuan & Menurut Para Ahli. [Online]. Tersedia : http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html. [Diakses 14 Maret 2017].

 

Sadulloh, Uyoh. (2010). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta. Cet. Pertama

 

Amir, Daien. (1973). Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Tirtarahardja Umar. (2005). Pengantar Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta

 

 











Related

Materi Kuliah S1 PGSD 8103149781588442390

Post a Comment

emo-but-icon

Hot in week

Recent

Comments

item