Resume Pedagogika " Tujuan, Batas, dan Kemungkinan Pendidikan"
https://yuniuptt.blogspot.com/2018/05/resume-pedagogika-tujuan-batas-dan.html
Assalamualaikum .
Berikut saya bagikan materi mata kuliah Pedagogika Semester 3 S1 PGSD, resume ini bisa kawan2 sekalian jadikan referensi dari pembuatan tugas kawan2. Semoga bermanfaat.
RESUME PEDAGOGIKA
“TUJUAN,
BATAS DAN KEMUNGKINAN PENDIDIKAN”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pedagogika
Dosen Pengampu: Iis Aprinawati, M.Pd
Disusun
Oleh :
RABIATUL
WAHYUNI 1686206056
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
2017
TUJUAN, BATAS DAN KEMUNGKINAN PENDIDIKAN
A. Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
adalah
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran untuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat. Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar yang
dilakukan oleh orang dewasa dengan cara membimbing secara optimal kepada
peserta didik dengan tujuan kedewasaan. Secara sederhana, Pengertian pendidikan
adalah proses pembelajaran bagi peserta didik untuk dapat mengerti, paham, dan
membuat manusia lebih kritis dalam berpikir.
Secara
Etimologi atau asal-usul, kata pendidikan
dalam bahasa inggris disebut dengan education, dalam bahasa latin
pendidikan disebut dengan educatum yang tersusun dari dua kata yaitu E
dan Duco dimana kata E berarti sebuah perkembangan dari dalam ke
luar atau dari sedikit banyak, sedangkan Duco berarti perkembangan atau
sedang berkembang. Jadi, Secara Etimologi pengertian pendidikan adalah
proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu.
Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Berikut beberapa
pendapat ahli mengenai pengertian pendidikan.
a. Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan
Nasional Indonesia): Menurut
Ki Hajar Dewantara bahwa pengertian pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
b. Ahmad D. Marimba: Pengertian pendidikan menurut Ahmad
D. Marimba adalah bimbingan atau bimbingan secara sadar oleh pendidik terdapat
perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya keperibadian yang
utama.
c. Menurut
UU No. 20 Tahun 2003: Pengertian pendidikan berdasarkan
UU No.20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar pesertadidik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan
dapat diperoleh baik secara formal dan non formal. Pendidikan
secara formal diperoleh dengan mengikuti program-program yang telah
direncanakan, terstruktur oleh suatu insititusi, departemen atau kementtrian
suatu negara. Sedangkan pendidikan non formal adalah pengetahuan yang diperoleh
dari kehidupan sehari-hari dari berbagai pengalaman baik yang dialami atau
dipelajari dari orang lain.
B. Tujuan Pendidikan
Tujuan merupakan faktor utama yang hendak dituju. Dari
uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan itu adalah
“kedewasaan”. Seseorang dikatakan telah mencapai “kedewasaan” apabila ia telah
mampu bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan kaidah agama serta norma yang
berlaku di masyarakat. Tujuan pendidikan dalam arti sempit adalah bimbingan
yang diberikan orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai
kedewasaannya. Maknanya, tujuan pendidikan adalah rumusan tentang apa yang
harus dicapai oleh anak didik, dan tujuan ini merupakan arah bagi seluruh
kegiatan pendidikan. Sedangkan tujuan pendidikan dalam arti luas adalah usaha
manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya sepanjang hayat.
Berdasarkan ruang lingkup (luas dan sempitnya) tujuan
yang ingin dicapai, Langeveld mengemukakan bahwa jenis-jenis tujuan pendidikan
adalah:
1.
Tujuan Umum
Tujuan umum adalah tujuan akhir yang akan dicapai oleh
seseorang melalui
pendidikan. Dengan demikian, apabila tujuan pendidikan
adalah kedewasaan, maka semua kegiatan pendidikan harus tertuju pada kedewasaan
agar tujuan umum pendidikan itu dapat tercapai. Menurut Kohnstamm dan Gunning,
tujuan akhir pendidikan adalah membentuk insan kamil atau manusia sempurna.(Amir
Daien,1973). sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan umum/akhir
pendidikan ialah membentuk insan kamil yang dewasa jasmani dan rohaninya baik
secara moral, intelektual, sosial, estesis, dan agama.
Contoh: Seorang guru meminta siswa kelas 1 untuk
merapikan crayon dan meja lipat setelah mewarnai, secara tidak langsung anak
telah diajarkan tentang tanggungm jawab. Sikap bertanggung jawab ini akan membentuk
sebuah kedewasaan dalam diri anak.
2.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus merupakan pengkhususan dari tujuan umum.
Kita tahu bahwa tujuan umum pendidikan adalah kedewasaan. Kedewasaan disini
masih general sifatnya. Banyak faktor yang membentuk kedewasaan, sehingga dapat
dikatakan tujuan khusus dari pendidikan mencakup segi-segi tertentu.
Pengkhususan tujuan ini dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu,
misalnya disesuaikan dengan seperti dibawah ini.
a. Cita-cita pembangunan suatu masyarakat/bangsa.
b. Tugas suatu badan atau lembaga pendidikan.
c. Bakat dan kemampuan anak didik.
d. Kesanggupan-kesanggupan yang ada pada pendidik.
e. Tingkat pendidikan, dan sebagainya.
(Umar Tirtaraharja, dkk, 2005:38-39)
3.
Tujuan Insidental/sewaktu
Tujuan ini disebut tujuan seketika/insidental karena
tujuan ini timbul secara kebetulan, secara mendadak dan hanya bersifat
sesaat.Tujuan seketika ini meskipun hanya sesaat, namun ikut andil dalam
pencapaian tujuan selanjutnya. Melalui tujuan-tujuan insidental seperti ini,
akan diperoleh pengetahuan dan pengalaman langsung yang erat hubungannya dengan
kehidupan dimasa yang akan datang.
4.
Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang terdapat dalam
langkah-langkah untuk mencapai tujuan umum (merupakan pijakan untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi). Dengan kata lain, tujuan sementara adalah tujuan
pendidikan yang dicapai seseorang pada setiap fase perkembangan. Misalnya saat
seorang anak diajarkan untuk dapat berjalan ia harus mengalami beberapa tahapan
dari merangkak, berdiri, berjalan terpatah-patah sampai akhirnya dia bisa
berjalan. Inilah yang disebut tujuan sementara.
5.
Tujuan Tak Lengkap
Tujuan tak lengkap adalah tujuan yang hanya membahas
tentang salah satu aspek pendidikan. Tujuan ini erat hubungannya dengan
aspek-aspek pendidikanyang akan membentuk aspek-aspek kepribadian manusia,
sepertimisalnya aspek-aspek pendidikan yaitu kecerdasan, moral,
sosial,keagamaan, estetika, dan sebagainya.
6.
Tujuan Intermedier/perantara
Tujuan perantara ini merupakan alat atau sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan yang lain. Misalnya saja seseorang yang bersekolah
tujuannya adalah akhirnya adalah lulus, ketika dia naik kelas dari kelas satu
ke kelas dua dan dari kelas dua ke kelas tiga itu merupakan tujuan
intermedier/tujuan perantara.
Keenam tujuan tersebut menurut Langeveld intinya dapat
disederhanakan menjadi satu macam saja, yaitu “tujuan umum” dimana kelima
tujuan yang lainnya diarahkan untuk pencapaian tujuan umum pendidikan yaitu
terbentuknya kehidupan sebagai insan kamil, satu kehidupan dimana ketiga inti
hakikat manusia baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk
susila/religius dapat terwujud secara harmonis.
Hierarki tujuan pendidikan dapat dilihat dalam
kurikulum pendidikan yang terjabar mulai dari :
1.
Cita-cita nasional/tujuan
nasional (Pembukaan UUD 1945)
2.
Pendidikan Nasional (dalam Sistem Pendidikan
Nasional),
3.
Tujuan Institusional (pada tiap tingkat
pendidikan/sekolah),
4.
Tujuan kurikuler (Pada tiap-tiap bidang
studi/mata pelajaran atau kuliah)
5.
Tujuan instruksional yang dibagi menjadi dua
yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
Dengan demikian tampak keterkaitan antara tujuan
instruksional yang dicapai guru dalam pembelajaran dikelas, untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari falsafah hidup yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945.
Manfaat tujuan dalam pendidikan adalah:
1.
Sebagai Arah
Pendidikan, tujuan akan menunjukkan arah dari suatu usaha, sedangkan arah
menunjukkan jalan yang harus ditempuh dari situasi sekarang kepada situasi
berikutnya.
2.
Tujuan sebagai titik akhir, suatu usaha pasti
memiliki awal dan akhir. Mungkin saja ada usaha yang terhenti karena sesuatu
kegagalan mencapai tujuan, namun usaha itu belum bisa dikatakan berakhir. Pada
umumnya, suatu usaha dikatakan berakhir jika tujuan akhirnya telah tercapai.
3.
Tujuan sebagai titik
pangkal mencapai tujuan lain, apabila tujuan merupakan titik akhir dari usaha,
maka dasar ini merupakan titik tolaknya, dalam arti bahwa dasar tersebut
merupakan fundamen yang menjadi alas permulaan setiap usaha.
4.
Memberi nilai pada
usaha yang dilakukan
C. Batasan
Pendidikan
Dalam pelaksanaan sebuah pendidikan, ada hal-hal yang
membatasi. Batas-batas Pendidikan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan atau
ketidakberdayaan pendidikan dalam melakukan tugas-tugas pendidikan. Batas-batas
yang mempengaruhi pendidikan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab
membimbing seorang anak untuk mencapai kedewasaanya. Yang dimaksud pendidik
disini adalah orang tua dan guru. Keduanya memiliki peran yang sama penting
dalam membantu proses pencapaian kedewasaan anak. Orang tua tentu saja memegang
peran utama dalam proses ini, karena orang tua merupakan tempat pertama dan
utama bagi seorang anak untuk bertinteraksi dengan pendidikan. Ketika anak
berada di sekolah, orang tua memiliki keterbatasan dalam melakukan pendidikan
terhadap anak. Untuk itulah guru melakukan peran pengganti sebagai orang tua
yang akan melaksanakan pendidikan bagi anak, di sekolah.
2. Aspek pribadi anak
didik
Anak didik adalah sosok manusia/individu. Menurut Abu
Ahmadi “Individu adalah orang yang tidak tergantung pada orang lain, dalam arti
benar-benar seorang pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidak dapat
dipaksa dari luar, mempunyai sifat-sifat dan keinginan sendiri”. Kondisi inilah
yang membatasi sebuah pendidikan.Berhasil atau tidaknya suatu pendidikan,
sangat tergantung pada seberapa jauh anak didik mampu menerima pendidikan yang
diberikan.Anak didik harus diakui keberadaannya.Mereka tidak bisa begitu saja
diperintah untuk mengikuti keinginan kita. Kita harus dapat memasuki
dunia mereka, sehingga kita dapat mengetahui apa yang mereka inginkan dan
mereka sukai. Dengan demikian proses pendidikan akan bisa berlangsung dengan baik
dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
3. Alat pendidikan
Alat pendidikan merupakan suatu perbuatan atau situasi
yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.Alat
pendidikan digunakan untuk mendidik anak secara pedagogis. Misalnya jika
seorang ibu membersihkan dan merapikan rumah setiap hari dalam rangka
memberikan kenyamanan bagi keluarganya, maka ia telah menyediakan lingkungan
pendidikan (keluarga). Jika ibu ini menggunakan kegiatan membersihkan rumah ini
untuk menasehati anaknya agar menjaga kebersihan karena merupakan bagian dari
keimanan, maka memberikan nasehat merupakan alat pendidikan, dan kondisi rumah
yang bersih merupakan alat bantu pendidikan. Alat pendidikan menurut Langeveld dipilih atas empat aspek
:
a. Berhubung dengan tujuan
pendidikan
b. tua yang akan menggunakan alat tersebut
c. Bahan perantara (medium) tempat
pemakaian alat itu ditunjukkan, berhubungan dengan jenis bahan objek, yang
hendak diolah untuk mencapai tujuan.
d. Berhubungan dengan pertanyaan, apakah akibat dari
penggunaan alat tersebut.
Selanjutnya Langeveld (1980) pengelompokan
lima jenis alat pendidikan yaitu :
a.
Perlindungan
Perlindungan merupakan aspek pertama dalam
melakukan pendidikan. Sebagai pendidik tentu saja kita harusa mampu memberikan
perlindungan pada anak didik kita, karna tanpa semua itu anak tidak akan mau
diajak dalam proses pendidikan. Perlindungan tersebut tidak hanya bersaifat
fisik akan tetapi secara fsikisnya juga. Namun karena anak itu paling tidak
bisa dilarang oleh karena itu sebagai pendidik kita harus memberikan
perlindungan dalam bentuk pengawasan yang baik.
b.
Kesepahaman
Kesepahaman
ini terjadi saat guru menjadi contoh untuk anak didiknya dengan memperhatikan
secara tidak langsung, anak akan meniru apa yang gurunya lakukan. Tapi tetap
saja kesepahaman ini bisa terjadi jika anak sudah merasa aman jika sedang
bersama gurunya. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa alat pendidikan ini
berhasil membawa anak untuk mengikuti apa yang gurunya lakukan, tentu saja
peniruan untuk melakukan kesepahaman ini haruslah bersifat positif.
c.
Kesamaan
arah dalam pikiran dan perbuatan
Kesamaan
arah dalam pikiran dan perbuatan ini ialah berupa tanggung jawab.Misalnya saat
sedang bermain seorang guru hendaknya memberikan kepercayaan pada anak didiknya
agar anak didiknya mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan semua tugasnya.
d.
Perasaan bersatu
Perasaan
bersatu ini akan timbul karena interaksi yang berlangsung antara pendidik dan
anak didik yang terus menerus. Misalnya karena kebiasaan pendidik dan anak
didik yang selalu bersama-sama setiap hari disekolah dalam melewati pelajaran
itu akan membentuk kenyamanan pada diri anak yang membuat perasaan bersatu itu
muncul pada diri keduanya.
e.
Pendidikan
karena kepentingan diri sendiri
Pedidikan
karena kepentingan diri sendiri, berarti pad saat itu si anak sudah
menyadari bahwa dirinya mempunyai kesadaran bahwa dirinya sudah mampu membentuk
karakternya sendiri. Tugas seorang pendidik disini ialah memberikan tanggung
jawab sepenuhnya kepada anak didik untuk melaksanakan tugas sesuai keinginan
hatinya.
4. Waktu pelaksanaan
Pada saat anak usia dini, hubungan anak dengan
pendidik belum disebut sebagai kegiatan pendidikan melainkan baru dalam
proses/taraf pembiasaan. Karena anak usia dini masih bersifat serba menerima,
mereka belum memahami apa itu perintah, aturan, norma dan lain sebagainya.
Kegiatan pembiasaan tersebut merupakan langkah awal yang dilakukan oleh
pendidik untuk mencapai kedewasaan seorang anak atau disebut juga dengan
pendidikan pendahuluan.Perbedaan pendidikan pendahuluan dengan pendidikan
sebenarnya adalah ketika terjadi hubungan wibawa antara pendidik dan anak
didik. Jadi pendidikan yang sebenarnya bukan merupakan kebiasaan melainkan
terjadi ketika hubungan wibawa itu ada, ketika anak telah mampu menerima
petunjuk dan perintah bukan hanya atas dasar ikut-ikutan atau meniru orang
lain.
5. Aspek tujuan
Tujuan pendidikan adalah mengantarkan anak untuk
mencapai kedewasaan.Tujuan pendidikan dibagi kedalam 2 tujuan, secara mikro dan
makro.Tujuan pendidikan secara mikro adalah untuk menjadikan anak didik menjadi
dewasa.Sedangkan secara makro yaitu menyiapkan manusia supaya lebih bermanfaat
bagi kehidupan pribadi dan bangsanya. Anak dikatakan mencapai kedewasaannya
apabila dia sudah bisa dan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain baik
secara biologis, psikologis, ekonomi dan sosial.
6. Aspek lingkungan
Lingkungan tempat dimana kita bertempat tinggal dan
mendapatkan pendidikan merupakan lingkungan pendidikan. Lingkungan disekitar
anak dapat dibedakan menjadi 4 macam:
a. Lingkungan alam fisik, merupakan lingkungan berupa alam disekitar kita
seperti tumbuhan, hewan, udara, rumah dan lain-lain.
b. Lingkungan budaya, berupa kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, adat
istiadat, bahasa, seni dan lain-lain.
c. Lingkungan sosial, berupa hubungan interaksi antar individu yang hidup
bermasyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain, tyermasuk didalamnya
tentang sikap, perilaku, norma antar setiap individu.
d. Lingkungan spiritual, berupa lingkungan agama, keyakinan yang dianut
masyarakat yang ada disekitar kehidupan dia.
Manakala faktor-faktor tersebut, ada yang tidak
mendukung, maka disitulah sering terjadi kendala bagi diberlangsungkannya
proses pendidikan. Sebagai contoh bakat dan minat anak yang tidak ada pada
suatu bidang ajar, atau intelejensi anak yang rendah untuk materi ajar yang
memerlukan kecerdasan, atau kondisi fisik anak yang tidak mendukung untuk mata
ajar yang memerlukan kesempurnaan fisik, atau psikis anak yang labil, atau back ground anak dari keluarga yang
tidak mampu, broken home, berasal
dari masyarakat yang tidak peduli terhadap pendidikan, atau lingkungan sekolah
yang diselenggarakan berada jauh dibawah ukuran standard (baik manajemen,
pembelajaran dan fasilitasnya), maka semuanya itu menjadi pembatas bagi
dilangsungkannya pendidikan bagi anak tersebut.
D. Keharusan dan
Kemungkinan Pendidikan
Kemungkinan dan
keharusan pendidikan adalah hal-hal yang menyebabkan dimungkinkan dan
diharuskannya pelaksanaan tugas-tugas pendidikan.
Manusia sejak lahir sangat
membutuhkan bantuan orang lain, khususnya kedua orang tuanya. Dapat dibayangkan
seandainya anak manusia pada saat lahir dibiarkan begitu saja oleh ibunya,
tanpa sentuhan apapun sedikitpun. Dengan mengabaikan kekuasaan Tuhan,
kematianlah yang akan menjemputnya pada anak yang ditelantarkan tersebut.
Keharusan mendidik anak telah
disebut-sebut, misalnya karena anak pada saat lahir dalam keadaan tidak
berdaya, anak tidak langsung dewasa, sehingga anak memerlukan perhatian dan
bantuan orang lain. Dengan keterbatasan kemampuan anak menyebabkan ia perlu
mendapat pendidikan. Keterbatasan anak dikarenakan, anak lahir dalam keadaan
tidak berdaya, dan ia tidak langsung dewasa.
1.
Keharusan
Pendidik
Keharusan manusia untuk mendapatkan
pendidikan dapat kita simak dari uraian di bawah ini:
a.
Anak
Dilahirkan dalam Keadaan Tidak Berdaya
Dilihat dari sudut anak, pendidikan
merupakan suatu keharusan. Pada waktu lahir anak manusia belum bisa berbuat
apa-apa. Sampai usia tertentu anak masih memerlukan bantuan orang tua. Begitu
anak lahir ke dunia, ia memerlukan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat
melangsungkan hidup dan kehidupannya, dan berdiri sendiri, berbeda dengan
binatang yang begitu lahir sudah dilengkapi kelengkapan fisiknya dan dapat
berbuat sesuatu untuk mempertahankan hidupnya.
Misalnya anak harimau begitu lahir
sudah dilengkapi dengan bulu yang dapat melindungi tubuhnya dari kedinginan.
Begitu lahir setelah dibersihkan oleh induknya anak harimau tersebut sudah bisa
bergerak untuk mencari susu induknya, walaupun belum memiliki kemampuan melihat
secara normal. Beberapa jenis hewan yang baru keluar dari telurnya langsung
bergerak seperti pada kura-kura, buaya, dan sebagainya. Begitu juga pada
binatang lainnya khususnya binatang menyusui seperti kuda, kambing, kera dan
sebagainya.
Hal tersebut tidak demikian pada
manusia. Manusia perlu mendapat bantuan orang lain untuk dapat menolong dirinya
untuk sampai kepada dewasa. Masa pendidikan manusia memerlukan waktu yang lama
karena di samping manusia harus dapat mempertahankan hidupnya dalam arti lahir,
ia juga harus memiliki bekal yang berkaitan dengan moral, memiliki pengetahuan,
dan keterampilan lainnya yang diperlukan untuk hidup. Makin tinggi peradaban
manusia, makin banyak yang harus dipelajari agar dapat hidup berdiri sendiri
tanpa menggantungkan diri kepada orang lain.
Oleh karena itu, anak/bayi manusia
memerlukan bantuan, tuntunan, pelayanan, dorongan dari orang lain demi
mempertahankan hidup dengan belajar setahap demi setahap untuk memperoleh bekal
nilai-nilai moral, memiliki kepandaian dan keterampilan, serta pembentukan
sikap dan tingkah laku sehingga lambat laun dapat berdiri sendiri yang semuanya
itu memerlukan waktu yang cukup lama.
Dilihat dari orang tua pendidikan
juga merupakan suatu keharusan. Tanpa ada yang memaksa, dengan sendirinya orang
tua akan mendidik anaknya. Hal tersebut disebabkan karena adanya rasa kasih
sayang dan rasa tanggung jawab dari orang tua terhadap anaknya. Perasaan kasih
sayang merupakan fitrah kemanusiaan yang akan timbul dengan sendirinya pada
manusia. Rasa tanggung jawab menyebabkan orang tua, bahwa anak itu perlu memperoleh
bimbingan agar ia di kemudian hari dapat berdiri sendiri tanpa menggantungkan
diri kepada orang lain. Anak perlu mendapat pendidikan dan orang tua merasa
wajib untuk memberikan pendidikan bagi anaknya. Keduanya bertemu dalam kegiatan
pendidikan yang berlangsung secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari dalam
keluarga.
Pendidikan karena dorongan orang
tua, yaitu hati nuraninya yang terdalam yang memiliki sifat kodrati untuk
mendidik anaknya baik dari segi fisik, sosial, emosi, maupun intelegensinya agar
memperoleh keselamatan, kepandaian, memperoleh kebahagiaan hidup yang
dicita-citakan, sehingga ada tanggung jawab moral atas hadirnya anak tersebut
yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dapat dipelihara, dan dididik
dengan sebaik-baiknya.
b.
Manusia
Lahir Tidak Langsung Dewasa
Untuk sampai pada kedewasaan yang
merupakan tujuan pendidikan dalam arti khusus, memerlukan wazktu lama. Pada
manusia primitif mungkin proses pencapaian kedewasaan tersebut akan lebih
pendek dibandingkan dengan manusia modern dewasa ini. Pada manusia primitif
cukup dengan mencapai kedewasaan secara konvensional, di mana apabila seseorang
sudah memiliki keterampilan unuk hidup, khususnya untuk hidup berkeluarga,
seperti dapat berburu, dapat bercocok tanam, mengenal nilai-nilai atau
norma-norma hidup bermasyarakat, sudah dapat dikatakan dewasa. Dilihat dari
segi usia, misalnya usia 12-15 tahun, pada masyarakat primitif sudah dapat
melangsungkan hidup berkeluarga. Pada masyarakat modern tuntutan kedewasaan
lebih kompleks, sesuai dengan makin kompleksnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan juga makin kompleksnya sistem nilai.
Untuk mengarungi kehidupan yang
dewasa, manusia perlu dipersiapkan, lebih-lebih pada masyarakat modern. Bekal
tersebut dap[at diperoleh dengan pendidikan, di mana orang tua atau generasi
tua akan mewariskan pengetahuan, nialai-nilai, serta keterampilannya kepada
anak-anaknya atau pada generasi berikutnya.
Manusia merupakan makhluk yang dapat
dididik, memungkinkan untuk memperoleh pendidikan. Manusia merupakan makhluk
yang harus dididik, karena manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, lahir
tidak langsung dewasa. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi
dengan sesamanya.
c.
Manusia
sebagai Makhluk Sosial
Manusia pada hakikatnya adalah
makhluk sosial. Ia tidak akan menjadi manusia seandainya tidak hidup bersama
dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, di mana pun hewan dibesarkan,
tetap akan memiliki perilaku hewan. Seekor kucing yang dibesarkan dalam
lingkungan anjing akan tetap berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing,
karena setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti
dan seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan
lainnya.
Manusia hidup bersama orang lain,
tidak sendirian. Mereka menentukan berbagai perjanjian agar hidup bersama itu
menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan bagi masyarakat, dan juga
menguntungkan bagi kehidupan individu masing-masing. Manusia sebagai makhluk
sosial, disamping memiliki dorongan untuk hidup secara individual, ia juga
menunjukan gejala-gejala sosial. Ia senang hidup bersama dengan orang lain.
Seorang manusia perlu mencapai suatu
taraf kedewasaan tertentu agar ia dapat hidup bersama dengan orang lain. Kalau
tidak, akan berbuat di luar perjanjian (kebiasaan, adat, aturan) yang berlaku.
Hal itu berarti bahwa ia tidak dewasa secara sosial. Walaupun secara biologis
ia sudah matang, tetapi untuk hidup bersama dengan orang lain, ia perlu
mendapatkan pendidikan.
Kalau manusia bukan makhluk sosial,
atau ia tidak hidup bersama-sama dengan orang lain, pada hakikatnya ia hidup
sendiri-sendiri. Maka hidup manusia itu tidak ada bedanya dengan kehidupan
hewan. Dalam kehidupan seperti ini, manusia tidak dapat dipengaruhi, karena ia
telah membawa pola hidupnya yang tetap dan tidak perlu lagi belajar dari orang
lain atau melalui apapun. Ia sudah dalam keadaan matang untuk mengikuti
kehidupan yang polanya sudah ada (terjadi). Dalam keadaan demikian, pendidikan
tidak perlu lagi karena memang tidak diperlukan.
d.
Manusia
sebagai Makhluk Individu yang Berdiri Sendiri
Pengertian makhluk sosial tidak
berarti bahwa individu (perorangan) tiadak ada. Pengertian sosial harus
diartikan bahwa manusia hidup bersama dalam kepribadian sendiri-sendiri. Ia masih
tetap berdiri sendiri, namun bersama-sama dengan orang lain. Pergaulan hidup,
adalah hidup antara pribadi-pribadi (individu-individu) satu sama lain. Tidak
berarti bahwa individu itu luluh menyatu dengan yang lain, seperti halnya
boneka-boneka yang hanya bergerak dengan pola yang sama. Manusia memang hidup
bersama, namun tetap secara individu dan individu.
Dengan adanya pribadi-pribadi orang
perorangan yang berbeda, karena itulah pendidikan diperlukan, karena setiap
orang yang bersifat individu itu perlu belajar hidup dengan individu lannya.
Pendidikan tidak mendidik agar setiap orang (individu) dapat berperilaku
sebagai individu bersama dengan individu lainnya.
e.
Manusia
sebagai Makhluk yang Dapat Bertanggung Jawab
Seorang manusia mampu atau tepatnya
harus mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Setiap tindakan manusia
membawa akibat, dan sering kali akibat itu menimpa orang lain, karena kita
hidup bersama-sama dengan orang lain. Seekor hewan kalau berbuat sesuatu tidak
akan mengerti akibat yang timbul dari tindakan tersebut, karena ia tidak mampu
berpikir, dan tindakannya hanya didasarkan oleh insting belaka.
Manusia akan dapat memperhitungkan
akibat tindakannya, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Karena itulah
manusia patut diminta pertanggung jawaban atas segala perbuatannya, karena kita
pradugakan ia akan mengerti apa akibatnya. Pendidikan di samping mengajar orang
agar menjadi tahu, dan terampil, pendidikan juga mengembangkan sikap. Sikap
yang utama adalah sikap tanggung jawab, karena makhluk sosial manapun memang
harus bertanggung jawab.
Bertanggung jawab adalah sejajar
dengan manusia sebagai makhluk sosial. Kalau sikap bertanggung jawab tidak
dimiliki setiap oleh setiap insan, maka kehidupan akan kacau, kaerena manusia
akan bertindak semaunya, setiap orang hanya akan menuruti kehendaknya sendiri,
dan tidak akan bertahan hidup lama.
Pendidikan itu sendiri merupakan
tindakan yang bertanggung jawab, yaitu bertanggung jawab terhadap generasi
manusia selanjutnya, karena kita tahu bahwa setiap anak membutuhkan bantuan.
Kalau tidak bertanggung jawab terhadap generasai berikutnya, mereka akan
terlantar. Disinilah pendidikan bertanggung jawab bagi kelanjutan kehidupan dan
hidup generasi berikutnya.
Untuk melaksanakan pendidikan
diperlukan adanya kesediaan anak didik untuk menerima pengaruh. Pada saat anak
masih kecil kesediaan ini belum ada, baru timbul kemudian kalau anak itu merasa
dirinya tidak mampu melakukan sesuatu dan perlu bantuan orang lain, sehingga ia
perlu belajar dari orang lain. Selama anak belum mau menerima pengaruh orang
lain diluar dirinya, tidak akan muncul ketaatan terhadap pihak lain yang
berusah mempengaruhinya. Kalau anak sudah menyadari kekurangannya, ia akan mau
menerima pengaruh dan mau taat, dengan kata lain ia mau menerima kewibawaan
pendidik.
f.
Sifat
Manusia dan Kemungkinan Terjadinya Pendidikan
Apa sebabnya pendidikan hanya
terjadi pada manusia? Pada tumbuh-tumbuhan sebagai makhluk hidup sama sekali
tidak terjadi pendidikan. Pada tingkat hewan ada perilaku yang mirip dengan
pendidikan, namun sangat jauh berlainan dengan pengertian pendidikan yang
sebenarnya. Tindakan yang mirip pendidikan itu disebut “dressur” (
pembiasaan dan dilatih terus menerus ).
Anak anjing meniru induknya, dengan
jalan bermain-main, dia melepaskan dorongan untuk berkelahi. Dia berkelahi (
main-main ) dengan induknya, sedangkan induknya sengaja membuat dirinya seperti
bermain berkelahi juga. Kejadian tersebut seolah-olah pada induk anjing ada
keinginan untuk “ mendidik “ anaknya. Dorongan untuk bermain seperti itu pada
anjing-anjing tersebut tidak didasarkan atas kesadaran bahwa dirinya ( anak
anjing ) tidak mampu, yang harus belajar kepada anjing lain. Bukan itu yang
menjadi alasan anak anjing dan induknya bermain, namun didasarkan dorongan untuk
berbuat, bergerak. Pada anjing-anjing tersebut tidak ada kesengajaan untuk
berbuat atas kesadaran atas kekurangan dan ketidak mampuannya. Misalnya sang
induk anjing sadar bahwa anaknya tidak mampu dan masih banyak kekurangan dalam
pengalamannya. Dari anak anjing tidak ada kesediaan menerima pengaruh dari
induknya, tidak ada kewibawaan.
Pada manusia juga terjadi “ dressur
“ pada saat anak belum memiliki kesadaran akan kekurangan dirinya. Pada saat
itu anak merasakan untuk meniru dan berbuat, akan berbuat sesuatu. Anak usia
sekitar 2 – 6 tahun misalnya, ia akan berbuat apa saja, ia bergerak menurut
kemauannya. Anak dibelikan sepeda oleh ayahnya agar anak bisa naik sepeda dan
ayahnya mendorong sepeda tersebut. Namun apa yang terjadi anak tidak mau naik
sepeda, bahkan ia akan turun dan mendorong sepeda tersebut seperti ayahnya
mendorong sepeda tadi.
Contoh lain anak akan mengambil
benda yang ia temukan disekelilingnya, melihat pisau ( padahal pisau itu sangat
tajam ) ia akan ambil dan digosok-gosokkan seperti menirukan ibunya
mengguanakan pisau tersebut, mungkin juga digosokan ke tangannya. Sang ibu
sangat cemas berkata setengah berteriak, “ Auuu…anakku sayang jangan pake pisau
itu, ibu pinjam ya sayang”. Sang anak tidak mau melepaskan pisau itu. Kalau
diambil secara paksa ia akan menangis, caranya cari pisau lain atau benda lain
yang menyerupai pisau yang tumpul lalu berikan kepadanya.
Anak melihat orang tuanya waktu
mandi menggosok gigi, dengan gesitnya anak mengambil sikat gigi ibunya dan
ingin pakai pastanya. Disinilah si ibu mencoba melatih si anak untuk menggosok
giginya, dan si anak dengan senangnya menggosok giginya walaupun tidak benar.
Anak makan dengan orang tuanya, ia memperhatikan orang tuanya memakai sendok
dan garpu, dengan cepatnya sang anak mengambil sendok makan, walaupun cara
memegangnya dan cara memasukan ke mulutpun belum pas dan benar. Disini sang
ibuu melatih anaknya membetulkan bagaimana cara memegang sendok, dan bagaimana
memasukannya kedalam mulutnya.
Dalam kejadian di atas, ayah melatih
anaknya naik sepeda dan ibunya melarang anaknya menggunakan pisau supaya jangan
bermain dengan pisau, ibu melatih anaknya menggosok gigi, sang ibu melatih
anaknya menggunakan sendok, itu semuanya belum temasuk pendidikan yang
sebenarnya, karena anak belum memahami, menyadari apa artinya perintah atau
kemauan ayahnya untuk naik sepeda, dan anak juga tidak paham mengapa ibunya
melarang bermain dengan pisau, mengapa harus menggosok gigi dan mengapa makan
haruus pakai sendok. Yang dilakukan oleh kedua orang tua anak itu bukan
pendidikan dalam arti sesungguhnya melainkan merupakan suatu “ dressur “.
Jadi dengan sifat anak suka meniru
beridentifikasi dengan orang lain, suka bermain, bisa menerima pengaruh dan
menerima kewibawaan orang lain, merupakan keharusan bagi orang tua ( pendidik )
membimbingnnya. Pendidikan harus menjadi contoh bagi anak didiknya, memberi
pengaruh yang positif untuk mengisi kedewasaan anak kelak.
2.
Kemungkinan
Dididik
Persoalan lain adalah kemungkinan
dididik. Persoalan ini di ajukan, karena adanya berbagai pendapat tentang
pendidikan. Misalnya ada pendapat tentang perkembangan manusia, bahwa
kedewasaan semata-mata merupakan hasil dari proses alami yang berlangsung
selaras dengan hukum alam. Bila demikian, mungkinkah manusia dididik? Tidakkah usaha
pendidikan hanya akan sia-sia belaka?
Diakui bahwa pada manusia ada
hal-hal tertentu yang didapatkan secara alami, dan hal itu tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Misalnya tentang bakat dan jenis kelamin. Orang dilahirkan
dengan bakat bawaan tertentu. Hal ini diluar kemampuannya. Dan memang untuk
hal-hal orang tidak dapat diminta pertanggung jawaban. Pendidik tidak
dapat berbuat apa-apa dengan bakat itu, dalam arti pendidik harus menolak bakat
tersebut, atau sebaliknya biarkan anak berkembang secara alamiah tanpa camur
tangan pendidik.
Sejak dahulu orang berpendapat,
bahwa bakat yang dibawa lahir seseorang belum merupakan kenyataan, melainkan
potensi. Jadi tentaang adanya bakat-bakat tertentu, pendidik tidak bertanggung
jawab. Yang dapat diusahakannya melalui pendidikan, dan hal itu termasuk ruang
lingkup tanggung jawabnya ialah, apa yang telah diperbuatnya sehubungan dengan
bakat yang dimiliki anak itu? Apakah dibiarkan saja merana ataukah
dipupuk dan dikembangkan, dan bakat mana yang dikembangkan? Seberapa jauhkah
bakat yang dimiliki anak didik itu telah dimanfaatkan dalam rangka pencapaian
dan pengisian kedewasaan itu?
Demikian pula dengan jenis kelamin.
Orang tidak dapat diminta pertanggung jawaban tentang jenis kelamin yang
dimilikinya. Mengapa anda menjadi wanita? Mengapa jadi pria? Namun yang dapat
dan harus menjadi pertanggung jawaban pendidik, dan juga tanggung jawab yang
bersangkutan apabila telah dewasa ialah, seberapa jauhkah ia telah
menjadikan kepribadian kelaki-lakian atau kewanitaanya sebagai “ model “ dalam
pengisian dan pencapaian kedewasaannya sebagai pria dewasa atau wanita dewasa?
Jadi permasalahannya disini bukan
persoalan jenis bakat atau jenis kelaminnya, melainkan dengan situasi seperti
itu seberapa jauhkah pendidikan telah berperan? Apakah pendidikan sudah “
bermanfaat “ secara optimal dalam mendewasakan anak sesuai dengan nilai-nilai
manusiawi?
Sehubungan dengan masalah batas
pendidikan perlu dikemukakan, bahwa batas kemungkinan pendidikan tidak dapat
disamaratakan bagi semua orang. Tidak dapat dikatakan, bahwa untuk semua orang
terdapat batas kemungkinan dididik yang sama. Sebab masing-masing individu
bersifat unik. Akan tetapi secara umum dapat dikatakan, bahwa kemungkinan
dididik itu tercapai mana kala tidak dapat dikembangkan lagi lebih lanjut
kehidupan rohaninya khususnya kehidupan moralnya. Adapun yang menjadi latar
belakangnya dapat beraneka ragam. Mungkin karena bakat bawaannya, mungkin
karena potensi kecerdasan yang berbeda, seperti berbeda dalam potesi kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, atau mungkin
terdapat kelainan.
3.
Tutwuri
Handayani
Tutwuri handayani, merupakan konsep
pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Nasional Pendidikan, diman hari
kelahirannya dijadikan hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 mei, dan beliau
adalah pendiri Perguruan Taman siswa. Tutwuri handayani berasal dari bahasa
jawa: “tut wuri” berarti mengikuti dari belakang, “handayani” mendorong,
memotivasi, atau membangkitkan semangat. Dari arti katanya dapat ditafsirkan,
bahwa tut wuri handayani, mengakui adanya pembawaannya, bakat, atupun potensi
yang dimiliki anak yang dibawa sejak lahir. Dengan kata “tut wuri” pendidik
diharapkan dapat melihat, menemukan, dan memahami bakat atau potensi yang
muncul dan terlihat pada anak didik, untuk selanjutnya mengembangkan
pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.
Di bandingkan dengan keempat aliran
yang telah dijelaskan, konsep tut wuri handayani, lebih dekat pada aliran
konvergensi dari William Stern, yang berpendapat bahwa perkembangan anak
ditentukan oleh bagaimana interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang
dimiliki anak dengan lingkungan atau bimbingan (pendidikan) yang mempengaruhi
anak dalam perkembangannya. Dengan kata lain watak atau karakter anak yang
menjadi kepribadiannya, dan ada yang ditentukan oleh lingkungannya, tergantung
pada yang lebih dominan dalam interaksi antara keduanya.
Tut wuri handayani tidak bisa
dipisahkan dari konsep pendidikan Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso,
tut wuri handayani. Ing ngarso sung tulodo, berarti apabila pendidik berada
didepan, ia harus memberi contoh yang baik terhadap anak didiknya. Ing ngarso =
didepan, sung – asung = memberi, tulodo = contoh.
Ing madya mangun karso berarti
apabila pendidik berada di ”tengah-tengah” bersam anak didiknya, ia harus
mendorong kemauan anak, membangkitkan kreativitas dan hasrat untuk berinisiatif
dan berbuat. Ing madya = ditengah-tengah, mangun = membangun, karso = keehendak
atau kemauan. Ditambah dengan tut wuri handayani seperti telah dijelaskan, maka
ketiganya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lainnya.
Jadi pendidikan menurut konsep Ki
Hajar Dewantara merupakan hasil interaksi antara pembawaan dan potensi dengan
bakat yang dimiliki anak, dimana dalam proses interaksi tersebut pendidik
memiliki peran aktif, tidak menyerahkan begitu saja kepada anak didik, dan
sebaliknya pendidik tidak boleh dominan menguasai anak.
4.
Naturalisme
Aliran naturalisme yang dipelopori
Rousseau berpandangan bahwa semua anak dilahirkan berpembawaan baik, dan
perbawaan baik anak tersebut akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan.
Pendidikan yang diberikan anak dewasa bisa merusak pembawaan anak yang baik
itu. Aliran ini biasa disebut juga negativisme, karena pendidik harus
membiarkan pertumbuhan anak pada awal. Jadi pendidikan dalam arti bimbingan
dari orang luar (orang dewasa) tidak diperlukan.
5.
Nativisme
Aliran nativisme dipelopori oleh
Schopenhauer (filosof Jerman:1788-1860) berpendapat bahwa “ The world is my
idea, the world like man, is throught idea”. Segala kejadian di dunia
dipandangnya sebagai manifestasi dari benih yang ada padanya sejak semula.
Perkembangan manusia hanya merupakan semacam penjabaran yang telah dibawakan
dari yang telah disiapkan semula, yang telah dibawakan sejak kelahirannya.
Aliran ini berkeyakinan bahwa anak
yang baru lahir membawa bakat, kesanggupan, dan sifat-sifat tertentu. Bakat,
kemampuan, dan sifat-sifat yang dibawa sejak lahir sangat menentukan dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak manusia. Pendidikan dan lingkungan tidak
terpengaruh terhadap perkembangan anak. Misalnya seorang anak yang mempunyai
bakat melukis, maka pikirannya, perasaannya, dan kemauannya, serta seluruh
kepribadiannya tertuju kepada melukis.
6.
Empirisme
Pandangan empirisme dari John Locke
menetapkan bahwa keadaan manusia saat dilahirkan diumpamakan sebagai “ tabula
rasa ”, yaitu sebuah meja yang dilapisi lilin, yang digunakan di sekolah dalam
rangka belajar menulis. Teori ini mengatakan bahwa anak yang dilahirkan itu
dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi. Sejak lahir
anak tidak memiliki bakat dan apa-apa, anak dapat dibentuk semaunya pendidik,
disini kekuatan untuk anak ada pada pendidik, sehingga lingkungan dalam hal ini
pendidikan berkuasa atas pembentukan anak.
7.
Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari ahli
psikologi berkebangsaan Jerman, bernamaWilliam Stern, yang berpendapat bahwa
pembawaan dan lingkungan keduanya membentuk perkembangan manusia. Implikasinya
bagi pendidikan adalah, bahwa dalam melaksanakan pendidikan, kedua momen
pembawaan dan lingkungan (pengalaman), hendaknya mendapat perhatian seimbang.
Dalam perkembangan manusia, pendidikan memegang peranan yang penting, namun
demikian seorang pendidik tidak pada tempatnya dengan bangga menunjukan:
“Inilah hasil didikan saya!”. Sebab upayanya itu tergantung pula pada situasi
saat pendidikan itu berlangsung, dari cara anak menerimanya (atau menolaknya),
dari bakat dan kemampuan yang ada pada anak, sangat sulit ditentukan mana hasil
didikan, mana penjabaran bakat dan bawaan. Hendaknya seorang pendidik tetap
memiliki optimisme, namu patut diingat, bahwa banyak variabel yang turut
menentukan keberhasilan pendidikannya.
Anak manusia
telah diakui oleh para ahli berbagai pakar disiplin ilmu yang berbeda, memiliki
potensi untuk kemungkinan dididik dan bahkan menjadikannya harus dididik,
umpamanya :
1.
Filsafat
Pakar Filsafat menilai manusia sebagai
Homo Sapien, makhluk yang memiliki akal, karenanya dia mungkin dan harus
dididik agar dapat berkembang kearah yang diinginkan.
2.
Sosiologi
Pakar sosiologi menganggap manusia
sebagai Homo socius, yakni makhluk yang punya keinginan untuk hidup bersama.
Dengan kebersamaan ini dimungkinkannya terjadi proses transfer nilai-nilai,
pengetahuan dan keterampilan. Karenanya dengan potensi ini manusia dimungkinkan
untuk dididik. Dasar kehidupan sosial adalah karena adanya kebutuhan. Agar
kehidupan sosial itu berjalan dengan baik dan langgeng, maka diperlukan adanya
nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan itu,
sehingga memang manusia harus dididik.
3.
Psikologi
Dalam pandangan psikologi, bahwa
manusia bukan hanya terdiri bentuk lahir dengan panca inderanya saja, tapi juga
memiliki aspek psikis dengan berbagai demensinya, seperti emosi, intelegensi,
konasi, imajinasi (daya khayal), dll. Yang semua itu memungkinkan dan
mengharuskan manusia untuk dididik, sehingga dapat berkembang menjadi manusia
yang sempurna bukan hanya aspek pisik tapi juga aspek psikisnya.
4.
Antropologi
Dalam pandangan antropologi manusia
adalah makhluk yang berbudaya, karena manusia mempunyai akal dan rasa
keingintahuan dan punya kemampuan pisik untuk mengembangkannya. Potensi akal
dan keingintahuan serta kemampuan untuk mengembangkan ini adalah potensi yang
menyebabkan manusia mungkin dan harus didik, sehingga budaya manusia terus
berkembang kearah kesempurnaan.
5.
Psikologi-Agama
Dalam pandangan psikologi agama,
manusia adalah human religious, atau mahkluk yang memiliki potensi beragama.
Potensi ini dapat menjadi dasar bagi dimungkinkannya manusia dididik dan adalah
merupakan suatu keharussan untuk mendidiknya agar menjadi manusia yang beragama
secara benar.
6.
Agama Islam
Sebagai sebuah agama yang universal,
Islam memandang manusia (anak) sebagai makhluk yang memiliki tiga unsur pokok,
yaitu tubuh, hayat dan jiwa. Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat
hancur, hayat yang
berarti hidup,
akan hancur bersama dengan datangnya kematian,
sedangkan jiwa bersifat kekal. Berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan,
“mereka mempunyai jiwa, tapi eksistensi jiwa di sini terikat dengan tubuh yang
bersifat materi, karenanya jika makhluk yang bersangkutan mati, jiwanya pun ikut hancur” karena jiwa yang dimaksud di sini oleh
sebahagian kalangan filosof Islam adalah hayat yang berarti hidup. Manusia
dipandang dalam islam sebagai makhluk yang termulia diantara makhluk-makhluk
Allah yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Sadulloh
uyoh, dkk,2007,Pedagogik, Bandung, UPI Press
Zakapedia.
(2015). Pengertian Pendidikan, Tujuan
& Menurut Para Ahli. [Online]. Tersedia : http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html.
[Diakses 14 Maret 2017].
Sadulloh, Uyoh. (2010). Pedagogik
(Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta. Cet. Pertama
Amir, Daien. (1973). Pengantar
Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Tirtarahardja Umar. (2005). Pengantar Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta